Senin, 23 November 2015

Fiqih Munakahat Talak



   TALAK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

 “Fiqh 1”
   Dosen Pengampu: 
           Faridatul Fitriyah, M. Sy







Disusun Oleh :
Nuzulia Ulfy Nangimah             (932123514)

 Kelas: C
        PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2015





BAB 1

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Sebagai umat Islam yang bertaqwa, kita tidak akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam yang akan dibahas disini adalah mengenai talak yang sudah di atur dalam hukum Islam, baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Masalah talak tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para artis yang melaporkan isterinya ke KUA lantaran hal sepele, dan dengan gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah jelas bahwa perbuatan yang paling di benci Allah adalah talaq.
Kita ketahui bahwa tindak lanjut dari talak itu sendiri akan berakibat perceraian. Dan hal itu akan menambah penderitaan dari kaum itu sendiri jika melakukan sebuah perceraian. Tetapi hukum Islam disamping menentukan hukum juga memberikan alternatif jalan keluar yang bisa di tempuh oleh pasangan suami Isteri jika ingin mempertahankan hubungan pernikahan mereka. Hal itu bisa di tempuh dengan melakukan rujuk dengan aturan-aturan tertentu.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari talak?
2.      Bagaimana hukum talak?
3.      Apa saja macam-macam talak?
4.      Apa akibat dari hukum talak?

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Talak

Talak berasal dari kata  الْإِطْلَاق“ithlaq”, artinya “melepaskan atau meninggalkan”.[1]Menurut bahasa, talak berarti melepas tali dan membebaskan.[2] Sedangkan menurut istilah syara’ talak adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri dengan lafal talak.[3] Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan antara suami istri, yang menyebabkan istri tidak lagi halal bagi suaminya.
Konsep talak sebenarnya telah ada sejak zaman jahiliyah, namun dalam  prakteknya amat merugikan pihak wanita. Kebiasaan orang jahiliyah dalam menalak istrinya sering bersifat aniaya.[4] Yang mana pada saat itu penduduk jahiliyah menggunakannya ketika melepas tanggungannya terhadap istri. Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali padanya  kemudian menalaknya kembali begitu seterusnya, sampai pada saat itu muncul sebuah paradigma bahwa andaikata wanita ditalak seribu kali kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada. Maka datanglah seorang wanita kepada Aisyah ra , mengadu bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi kemudian menyakitinya. Aisyah melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, maka turunlah firman Allah SWT:[5]
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah: 229).
Perkataan talak dalam istilah memiliki dua arti. Pertama, arti umum adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Kedua, dalam arti yang khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami, dengan lafal yang khusus (talak), baik lafal sharih ataupun lafal kinayah.[6]

B.     Hukum Talak

Apabila dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, hukum talak ada empat, yaitu:[7]
1.      Wajib, apabila terjadi perselisihan antara suami-istri yang tidak dapat diperbaiki lagi, dan pihak hakam (penengah) berpendapat bahwa hanya talak lah yang merupakan jalan satunya menghentikan perpecahan.[8]
2.      Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
3.      Haram dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
4.      Makruh, yaitu hukum asal dari talak, karena talak tersebut dijatuhkan tanpa alasan sama sekali. Hal inilah yang menyebabkan talak menjadi suatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.[9]

 

C.     Macam-Macam Talak

Ulama fiqih membagi talak dari dua segi, yaitu dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya dan dari segi cara menjatuhkannya.[10]
1.      Talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya
a.       Talak Raj’i
Talak raj’I adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istri yang telah digauli, bukan karena mendapatkan ganti (iwad) dari sang istri.[11]Dalam keadaan ini, suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah.[12]
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah: 229).

b.      Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya di mana tidak memberikan hak suami merujuk istrinya kembali, namun suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru dengan persyaratan tertentu. [13]
Ulama fiqih membagi talak ba’in menjadi talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra:
1.      Talak ba’in Sughra, adalah talak raj’I yang telah habis masa iddahnya,[14] talak sebelum berkumpul pada saat masa suci, talak dengan tebus (khuluk).[15]
2.      Talak ba’in kubro, adalah talak yang dijatuhkan suami untuk ketiga kalinya. Dalam keadaan ini, suami tidak boleh rujuk dengan istrinya itu sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan laki-laki itu meninggal atau telah bercerai dengannya sesudah berkumpul, dan sudah habisnya masa iddah wanita itu tanpa adanya niat nikah tahlil.[16] Apabila suami kembali kepada istri yang telah ditalak itu dengan akad nikah dan mahar baru, maka ia memiliki kembali hak talak sebanyak tiga kali karena perkawinannya yang kedua dianggap sebagai perkawinan baru.

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya:
Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkannya pada orang-orang yang berpengetahuan.(QS. Al-Baqarah:230)
2.      Talak ditinjau dari segi baik tidaknya
a.       Talak sunni, yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama,[17] yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri telah suci dari haidnya dan belum dicampuri,[18] menalak istri harus secara bertahap dan diselingi rujuk, dan istri telah nyata-nyata dalam keadaan hamil.[19]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…..” (QS. At-Talaq: 1).

b.      Talak bid’I, adalah talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada waktu bersamaan (sekaligus) (talak dengan ucapan talak tiga), [20]atau talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid atau nifas, atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri kembali, padahal kehamilannya belum jelas.[21]

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
Suruhlah dia merujuki istrinya itu, ia tahan istinya itu (jangan diceraikan lagi) hingga ia suci, kemudian ia haid, lalu suci. Kemudian jika ia hendak meneruskan perkawinan itu tahanlah sesudah itu (jangan diceraikan), dan jika ia hendak menceraikannya, ceraikanlah ia sebelum dicampuri. Maka itulah iddahnya (permulaannya) yang diperintahkan Allah dan boleh perempuan-perempuan diceraikan ketika itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

D.    Akibat Hukum Talak

1.      Akibat Hukum Talak Raj’i
Menurut ulama fiqih, akibat dari talak raj’I adalah sebagai berikut:[22]
a.       Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang,
b.      Ikatan perkawinan berakhir setelah masa iddah habis jika suami tidak rujuk,
 فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu …”(QS. At-Talaq: 2)
c.       Suami boleh rujuk dalam masa iddah istrinya, baik disetujui istri atau tidak, karena rujuk tidak memerlukan persetujuan istri,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa itu, jika mereka menghedaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah ayat 228)
d.      Wanita tersebut berhak mendapatkan nafkah dari suaminya selama masa iddah,
e.       Anak yang lahir dalam masa iddah bernashab kepada suami yang menalak,
f.        Ulama mazhab Syafi’I dan Maliki dalam salah satu pendapatnya mengatakan, haram bagi suami melakukan hubungan suami istri dalam masa iddah sebelum rujuk. Karena, mereka berpendapat bahwa dengan terjadinya talak seluruh hubungan dan ikatan suami istri terputus disamping itu, kehalalan hubungan suami istri disebabkan akad perkawinan. Dengan terjadinya talak, hubungan suami istri yang dahulu halal menjadi haram setelah akad nikahnya putus. Akan tetapi, menurut ulama mazhab Hanafi dan Hanbali, suami boleh saja menggauli istrinya dalam masa iddah dan sikap ini dianggap sebagai upaya rujuk dari suaminya.
2.      Hukum Talak Ba’in Sughra
Menurut ulama fiqih, akibat talak ba’in sughra adalah sebagai berikut:[23]
a.       Suami tidak boleh rujuk dengan istrinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar baru,
b.      Suami tidak boleh menggauli wanita tersebut,
c.       Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang,
d.      Tidak saling mewarisi antara wanita dan lelaki tersebut apabila salah satu diantara keduanya wafat, kecuali jika talak itu dijatuhkan suami dalam keadaan mard al-maut (sakit yang membawa pada kematian) dan ada indikasi yang menunjukkan bahwa suami yang menjatuhkan talak itu bermaksud untuk menghilangkan hak waris istri,
e.       Istri berhak menerima nafkah selama masa iddahnya dan anak yang lahir dalam masa iddah bernashab kepada lelaki tersebut.
3.      Hukum Talak Ba’in Kubra
Akibat talak ba’in kubra adalah sebagai berikut:[24]
a.       Terputusnya seluruh ikatan dan hubungan suami istri setelah talak dijatuhkan,
b.      Suami tidak memiliki hak talak lagi,
c.       Diantara keduanya tidak saling mewarisi meskipun dalam masa iddah,
d.      Wanita tersebut tetap berhak menerima nafkah selama masa iddahnya,
e.       Anak yang lahir setelah perceraian tersebut bernashab kepada laki-laki yang menceraikan wanita itu.

BAB III

PENUTUP

A.     KESIMPULAN

Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan antara suami istri, yang menyebabkan istri tidak lagi halal bagi suaminya. Hukum talak apabila dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, ada empat yaitu, wajib, sunnah, haram, dan makruh, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Begitu juga talak juga ada macam-macamnya. Ulama fiqih membagi talak menjadi dua, yaitu dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya yaitu, talak raj’I dan talak ba’in dan juga dilihat dari segi cara menjatuhkannya yaitu talak sunni dan talak bid’i. Dan  talak yang telah dijatuhkan tentunya menimbulkan akibat, seperti pada talak raj’I yang mengakibatkan bilangan talak yang dimiliki suami berkurang dan ikatan perkawinan berakhir setelah masa iddah habis jika suami tidak rujuk. Begitu juga dengan talak ba’in sughra yang tidak membolehkan Suami rujuk dengan istrinya, kecuali dengan akad nikah dan mahar baru. Dan talak ba’in kubro berakibat terputusnya seluruh ikatan dan hubungan suami istri setelah talak dijatuhkan.
Semua aturan-aturan tersebut merupakan syari’at Islam harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Karena Allah sudah mengatur sedemikian rupa yang tidak lain tujuannya adalah untuk kemaslahatan kita bersama, yaitu demi memberikan keadilan bagi suami dan istri.


BAB IV

DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II. (Bandung: CV.Pustaka Setia).
Ahmad Saebani, Beni. 2001. Fiqh Munakahat (Buku II). (Bandung: CV. Pustaka Setia).
Aziz Dahlan, Abdul. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve).
Aziz, Abdul dan Abdul Wahhab. 2009. Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak). ( Jakarta: Amzah).
Mahdil Mawahib, M. 2009. Fiqih Munakahah. (Kediri: STAIN Kediri Press).
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberty).
Tihami dan Sohari Sahrani. 2010. Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap). (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).




[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II) ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 55.
[2] Abdul Aziz dan Abdul Wahhab, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), ( Jakarta: Amzah, 2009), 255.
[3] Tihami dan Sohari Sahrani, Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
  2010), 229.
[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), 1776.
[5] Abdul Aziz dan Abdul Wahhab, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), 225-226.
[6] Soemiyati,  Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2004), 103
[7] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 64-65.
[8] Ibid., 63.
[9] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1777.
[10] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1783.
[11] M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), 34.
[12] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, 34-35.
[16] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 71.
[17] Ibid., 74.
[18] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II (Bandung: CV.Pustaka Setia, 1999), 41.
[19] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1783.
[20] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 74-75.
[21] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II, 41.
[22] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[23] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[24] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1785.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar