TALAK
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Fiqh 1”
“Fiqh 1”
Dosen
Pengampu:
Faridatul Fitriyah,
M. Sy
Disusun
Oleh :
Nuzulia Ulfy
Nangimah (932123514)
Kelas: C
Kelas: C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai umat Islam yang bertaqwa, kita tidak
akan terlepas dari syari’at Islam. Hukum yang harus di patuhi oleh semua umat
Islam di seluruh penjuru dunia. Baik laki-laki maupun perempuan tidak ada
perbedaan di mata Allah SWT, tetapi yang membedakan hanyalah ketaqwaan kita.
Salah satu dari syari’at Islam yang akan
dibahas disini adalah mengenai talak yang sudah di atur dalam hukum Islam, baik
dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits Rasulullah SAW. Masalah talak tidak jarang
kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita lihat di televisi banyak para
artis yang melaporkan isterinya ke KUA lantaran hal sepele, dan dengan
gampangnya mengucapkan kata talak. Padahal dalam al-Qur’an sudah jelas bahwa
perbuatan yang paling di benci Allah adalah talaq.
Kita ketahui bahwa tindak lanjut dari talak itu
sendiri akan berakibat perceraian. Dan hal itu akan menambah penderitaan dari
kaum itu sendiri jika melakukan sebuah perceraian. Tetapi hukum Islam disamping
menentukan hukum juga memberikan alternatif jalan keluar yang bisa di tempuh
oleh pasangan suami Isteri jika ingin mempertahankan hubungan pernikahan
mereka. Hal itu bisa di tempuh dengan melakukan rujuk dengan aturan-aturan
tertentu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari talak?
2.
Bagaimana hukum talak?
3.
Apa saja macam-macam talak?
4. Apa
akibat dari hukum talak?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Talak
Talak berasal
dari kata الْإِطْلَاق“ithlaq”, artinya “melepaskan
atau meninggalkan”.[1]Menurut bahasa,
talak berarti melepas tali dan membebaskan.[2]
Sedangkan menurut istilah syara’ talak adalah melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri dengan lafal talak.[3]
Jadi, talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan antara suami istri, yang
menyebabkan istri tidak lagi halal bagi suaminya.
Konsep talak
sebenarnya telah ada sejak zaman jahiliyah, namun dalam prakteknya amat merugikan pihak wanita.
Kebiasaan orang jahiliyah dalam menalak istrinya sering bersifat aniaya.[4]
Yang mana pada saat itu penduduk jahiliyah menggunakannya ketika melepas
tanggungannya terhadap istri. Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati
habis masa menunggu, ia kembali padanya
kemudian menalaknya kembali begitu seterusnya, sampai pada saat itu
muncul sebuah paradigma bahwa andaikata wanita ditalak seribu kali kekuasaan
suami untuk kembali masih tetap ada. Maka datanglah seorang wanita kepada
Aisyah ra , mengadu bahwa suaminya menalaknya dan kembali tetapi kemudian
menyakitinya. Aisyah melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, maka
turunlah firman Allah SWT:[5]
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ
“
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah:
229).
Perkataan talak
dalam istilah memiliki dua arti. Pertama, arti umum adalah segala macam
bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau istri. Kedua, dalam arti yang
khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami, dengan lafal yang
khusus (talak), baik lafal sharih ataupun lafal kinayah.[6]
B. Hukum Talak
Apabila dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya,
hukum talak ada empat, yaitu:[7]
1.
Wajib,
apabila terjadi perselisihan antara suami-istri yang tidak dapat diperbaiki
lagi, dan pihak hakam (penengah) berpendapat bahwa hanya talak lah yang
merupakan jalan satunya menghentikan perpecahan.[8]
2. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi
membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga
kehormatan dirinya.
3.
Haram dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan
talak sewaktu istri dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu suci
yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
4.
Makruh, yaitu hukum asal dari talak, karena
talak tersebut dijatuhkan tanpa alasan sama sekali. Hal inilah yang menyebabkan
talak menjadi suatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.[9]
C. Macam-Macam Talak
Ulama fiqih membagi talak dari dua
segi, yaitu dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya dan dari segi
cara menjatuhkannya.[10]
1.
Talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami
rujuk dengan istrinya
a.
Talak Raj’i
Talak raj’I adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami
pada istri yang telah digauli, bukan karena mendapatkan ganti (iwad) dari sang
istri.[11]Dalam
keadaan ini, suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru
selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah.[12]
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ
“
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik …” (QS. Al-Baqarah:
229).
b.
Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang dijatuhkan suami pada
istrinya di mana tidak memberikan hak suami merujuk istrinya kembali, namun
suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru dengan
persyaratan tertentu. [13]
Ulama fiqih membagi talak ba’in menjadi talak ba’in sughra dan talak
ba’in kubra:
1.
Talak ba’in Sughra, adalah talak raj’I yang telah habis masa
iddahnya,[14] talak
sebelum berkumpul pada saat masa suci, talak dengan tebus (khuluk).[15]
2.
Talak ba’in kubro, adalah talak yang dijatuhkan
suami untuk ketiga kalinya. Dalam keadaan ini, suami tidak boleh rujuk dengan
istrinya itu sampai ia menikah dengan laki-laki lain dan laki-laki itu
meninggal atau telah bercerai dengannya sesudah berkumpul, dan sudah habisnya
masa iddah wanita itu tanpa adanya niat nikah tahlil.[16]
Apabila suami kembali kepada istri yang telah ditalak itu dengan akad nikah dan
mahar baru, maka ia memiliki kembali hak talak sebanyak tiga kali karena
perkawinannya yang kedua dianggap sebagai perkawinan baru.
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ
بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya:
Kemudian jika dia menceraikannya
(setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum
dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas
istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkannya pada
orang-orang yang berpengetahuan.(QS. Al-Baqarah:230)
2.
Talak ditinjau dari segi baik tidaknya
a.
Talak sunni, yaitu talak yang berjalan sesuai
dengan ketentuan agama,[17]
yaitu talak yang dijatuhkan ketika istri telah suci dari haidnya dan belum
dicampuri,[18]
menalak istri harus secara bertahap dan diselingi rujuk, dan istri telah
nyata-nyata dalam keadaan hamil.[19]
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila
kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…..” (QS. At-Talaq: 1).
b.
Talak bid’I, adalah talak yang menyalahi
ketentuan agama, misalnya talak yang diucapkan dengan tiga kali talak pada
waktu bersamaan (sekaligus) (talak dengan ucapan talak tiga), [20]atau
talak yang dijatuhkan ketika istri sedang haid atau nifas, atau dalam keadaan
suci tapi sudah dicampuri kembali, padahal kehamilannya belum jelas.[21]
مُرْهُ
فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ
تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ
أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا
النِّسَاءُ
“Suruhlah dia merujuki istrinya itu, ia tahan istinya itu
(jangan diceraikan lagi) hingga ia suci, kemudian ia haid, lalu suci. Kemudian
jika ia hendak meneruskan perkawinan itu tahanlah sesudah itu (jangan diceraikan),
dan jika ia hendak menceraikannya, ceraikanlah ia sebelum dicampuri. Maka
itulah iddahnya (permulaannya) yang diperintahkan Allah dan boleh
perempuan-perempuan diceraikan ketika itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
D. Akibat Hukum Talak
1.
Akibat Hukum Talak Raj’i
Menurut ulama fiqih, akibat dari talak raj’I adalah sebagai berikut:[22]
a.
Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang,
b.
Ikatan perkawinan berakhir setelah masa iddah
habis jika suami tidak rujuk,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu …”(QS. At-Talaq: 2)
c.
Suami boleh rujuk dalam masa iddah istrinya,
baik disetujui istri atau tidak, karena rujuk tidak memerlukan persetujuan
istri,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para istri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh
bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak
kembali kepada mereka dalam masa itu, jika mereka menghedaki perbaikan. Dan
mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Al-Baqarah ayat 228)
d.
Wanita tersebut berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya selama masa iddah,
e.
Anak yang lahir dalam masa iddah bernashab
kepada suami yang menalak,
f.
Ulama mazhab Syafi’I dan Maliki dalam salah satu
pendapatnya mengatakan, haram bagi suami melakukan hubungan suami istri dalam
masa iddah sebelum rujuk. Karena, mereka berpendapat bahwa dengan terjadinya
talak seluruh hubungan dan ikatan suami istri terputus disamping itu, kehalalan
hubungan suami istri disebabkan akad perkawinan. Dengan terjadinya talak,
hubungan suami istri yang dahulu halal menjadi haram setelah akad nikahnya
putus. Akan tetapi, menurut ulama mazhab Hanafi dan Hanbali, suami boleh saja
menggauli istrinya dalam masa iddah dan sikap ini dianggap sebagai upaya rujuk
dari suaminya.
2.
Hukum Talak Ba’in Sughra
Menurut ulama fiqih, akibat talak ba’in sughra adalah sebagai berikut:[23]
a.
Suami tidak boleh rujuk dengan istrinya, kecuali
dengan akad nikah dan mahar baru,
b.
Suami tidak boleh menggauli wanita tersebut,
c.
Bilangan talak yang dimiliki suami berkurang,
d.
Tidak saling mewarisi antara wanita dan lelaki
tersebut apabila salah satu diantara keduanya wafat, kecuali jika talak itu
dijatuhkan suami dalam keadaan mard al-maut (sakit yang membawa pada
kematian) dan ada indikasi yang menunjukkan bahwa suami yang menjatuhkan talak
itu bermaksud untuk menghilangkan hak waris istri,
e.
Istri berhak menerima nafkah selama masa
iddahnya dan anak yang lahir dalam masa iddah bernashab kepada lelaki tersebut.
3.
Hukum Talak Ba’in Kubra
Akibat talak ba’in kubra adalah sebagai berikut:[24]
a.
Terputusnya seluruh ikatan dan hubungan suami
istri setelah talak dijatuhkan,
b.
Suami tidak memiliki hak talak lagi,
c.
Diantara keduanya tidak saling mewarisi meskipun
dalam masa iddah,
d.
Wanita tersebut tetap berhak menerima nafkah
selama masa iddahnya,
e.
Anak yang lahir setelah perceraian tersebut
bernashab kepada laki-laki yang menceraikan wanita itu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan antara suami istri,
yang menyebabkan istri tidak lagi halal bagi suaminya. Hukum talak apabila
dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, ada empat yaitu, wajib, sunnah,
haram, dan makruh, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
Begitu juga talak
juga ada macam-macamnya. Ulama fiqih membagi talak menjadi dua, yaitu dari segi
boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya yaitu, talak raj’I dan talak ba’in
dan juga dilihat dari segi cara menjatuhkannya yaitu talak sunni dan talak
bid’i. Dan talak yang telah dijatuhkan
tentunya menimbulkan akibat, seperti pada talak raj’I yang mengakibatkan
bilangan talak yang dimiliki suami berkurang dan ikatan perkawinan berakhir
setelah masa iddah habis jika suami tidak rujuk. Begitu juga dengan talak ba’in
sughra yang tidak membolehkan Suami rujuk dengan istrinya, kecuali dengan akad
nikah dan mahar baru. Dan talak ba’in kubro berakibat terputusnya seluruh
ikatan dan hubungan suami istri setelah talak dijatuhkan.
Semua
aturan-aturan tersebut merupakan syari’at
Islam harus di patuhi oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Karena
Allah sudah mengatur sedemikian rupa yang tidak lain tujuannya adalah untuk
kemaslahatan kita bersama, yaitu demi memberikan keadilan bagi suami dan istri.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II.
(Bandung: CV.Pustaka Setia).
Ahmad Saebani, Beni. 2001. Fiqh Munakahat (Buku II). (Bandung:
CV. Pustaka Setia).
Aziz Dahlan, Abdul. 1996. Ensiklopedia Hukum Islam. (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve).
Aziz, Abdul dan Abdul Wahhab. 2009. Fiqh Munakahat
(Khitbah, Nikah, dan Talak). ( Jakarta: Amzah).
Mahdil Mawahib, M. 2009. Fiqih Munakahah. (Kediri:
STAIN Kediri Press).
Soemiyati. 2004. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang
Perkawinan. (Yogyakarta: Liberty).
Tihami dan Sohari Sahrani. 2010. Munakahat (Kajian Fikih
Nikah Lengkap). (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).
[1]
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II) ( Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2001), 55.
[2]
Abdul Aziz dan Abdul Wahhab, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak),
( Jakarta: Amzah, 2009), 255.
[3]
Tihami dan Sohari Sahrani, Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), (
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2010), 229.
[4]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996), 1776.
[5]
Abdul Aziz dan Abdul Wahhab, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak), 225-226.
[7]
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 64-65.
[8]
Ibid., 63.
[9]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1777.
[10]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1783.
[11]
M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009),
34.
[12]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[13]
Ibid.,
[14]
Ibid.,
[15]
M. Mahdil Mawahib, Fiqih Munakahah, 34-35.
[16]
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 71.
[17] Ibid.,
74.
[18]
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II (Bandung: CV.Pustaka
Setia, 1999), 41.
[19]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1783.
[20]
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat (Buku II), 74-75.
[21]
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II, 41.
[22]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[23]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1784.
[24]
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, 1785.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar