POSITIVISME
A. Latar Belakang
Positivis
merupakan istilah umum untuk
posisi filosofis yang
menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme berasal dari kata
“positif” yang artinya faktual (berdasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme, pengetahuan
kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan, yaitu menanyakan “hakikat” benda-benda
atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat yang hanya
menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus
filsafat ialah mengkoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan, yang beraneka ragam
coraknya. Tentu saja, maksud positivisme
berkaiatan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme
pun mengutamakan pengalaman dan hanya
mengandalkan fakta-fakta belaka.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian Positivisme?
2.
Bagaimana sejarah singkat munculnya Positivisme?
3.
Bagaimana ajaran di dalam filsafat Positivisme?
4.
Bagaimana konsep Positivisme dan kelemahannya
dalam pengembangan ilmu pengetahuan?
5.
Bagaimana sejarah kemunculan Positivisme logis?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Positivisme
2.
Untuk mengetahui sejarah kemunculan Positivisme
3.
Untuk mengetahui ajaran di dalam filsafat Positivisme
4.
Untuk mengetahui konsep Positivisme serta
kelemahannya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Positivisme
Positivisme
merupakan suatu aliran filsafat
yang menyatakan ilmu-ilmu alam
(empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
spekuliasi dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme
ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat
itu hendaknya semata-mata
mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif”[1]
Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah
yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah
dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika[2]
yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau
tidak kelihatan.[3]
Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak
menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam
mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah
benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang
berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua
harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang
pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran
positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan
rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.[5]
B. Sejarah Kemunculan Positivisme
Istilah
Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip
filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof
berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad
ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi
pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni
maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf
sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di Montpellier pada
tahun 1798 dari keluarga pegawai
negeri yang beragama
Katolik. Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara
sebagai tahapan paling
akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang
berjudul Course de Philosophie Phositive,
Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada
para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika
pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir
fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam
ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan
monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi
hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman
metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh
konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia
menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti
kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada
masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang
tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan
kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan
tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.[6]
C. Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme
Positivisme
memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan
fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi
sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang mana positivisme menganggap
ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal
adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat positivisme dapat dipaparkan
sebagai berikut:[7]
1. Positivisme
bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya mendasarkan pada
kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2. Positivisme
tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi
3. Positivisme
tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala
alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian
didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan
waktu.
4. Positivisme
menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi
sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5. Positivisme
menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang
saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
D. Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Konsep positivisme
adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan juga Hipotetik.
Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut:
1. Analisis biologik yang
ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya
nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan
manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2. Akibat dari ketidakpercayaannya
terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan
mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan,
Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran
Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat
paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya
kepada agama semakin meningkat.
3. Manusia akan kehilangan makna, seni
atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu
tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikkan.
4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak
dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5. Positivisme pada kenyataannya menitik
beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di
mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu
diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal
yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.
Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia
sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap
tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan
berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai
masyarakat positivistic. [8]
E. Sejarah Kemunculan Positivisme Logis
Positivisme logis muncul dari hasil
perombakan dari positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya
pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau
pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi
analisis ini mengurangi metafisik
dan meneliti struktur logis
pengetahuan ilmiah. Tujuan dari
pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep
dan pernyataan-pernyataan ilmiah
yang dapat diversifikasi secara empiris.[9]
Positivisme logis
adalah filsafat ilmu pengetahuan yang timbul pada abad ke-20
di Wina, ibu kota
kekaisaran Habsburg dan pusat
dunia musik di Austria,
Eropa Tengah. Pada
abad ke-19 sudah ada
beberapa orang yeng memperhatikan pengembangan
ilmu pengetahuan dan menulis tentang
gejala ini. Namun usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan itu belum
bersifat sistematis dan juga belum
bertujuan menghasilkan
teori. Positivisme logis
adalah usaha pertama yang tertuju
pada sasaran ini dan berkembang pada masa M.Schlick (1882-1936)
menjadi maha guru filsafat
ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina. Schlick membentuk
kelompok bersama antara lain R.
Carnap (1891-1970), ahli logika,
Ph.Frank, ahli ilmu pasti, V. Kraft, ahli sejarah, H. Feigl
dan F. Waismann, dua ahli filsafat. Kelompok
ini disebut Der Wiener
Kreis (Kelompok Wina).
Pada tahun 1929 R. Carnap, bersama
H. Hahn, ahli ilmu pasti,
dan O Neurath
(1882-1945), ahli Sosiologi menerbitkan sebuah manifes yang berjudul, Wissenschaftliche Weltauf fassung “Der Wiener
Kreis” (pandangan Dunia Ilmiah,
Kelompok Wina). Tulisan ini
mendapat sambutan hangat di
beberapa negara lain. Di Berlin,
ibukota Jerman, dibentuk
satu kelompok yang disebut Der
Beriner Gruppe (Kelompok Berlin) yang
meliputi antara lain H.
Reichenbach (1891-1953), R. Von
Mises dan C.G Hempel
. Di Inggris A.J Ayer juga
tertarik pada positivisme logis. Di
Amerika Serikat C. Morris dan E. Nagel mengikuti aliran filsafat
ilmu pengetahuan ini. [10]
Positivisme Logis
merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran
pada segala hal yang dapat
dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis defnisi dan relasi antara
istilah-istilah. Tugas pertamanya
dipersiapkan untuk ilmu dan yang
kedua khusus untuk
filsafat. Karena menurut positivisme Logis,
filsafat ilmu murni hanya sebagai suatu analisis logis tentang
bahasa ilmu atau sebuah proposisi saja. Fungsi
analisis ini disatu pihak, mengurangi “metafisika”, dan di lain pihak, meneliti struktur
logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini
bertujuan menentukan isi konsep-konsep dan pernyatan-pernyataan ilmiah
yang dapat diverifikasi secara empiris.[11]
Mengenai tugas filsafat sebagai
analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip
yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal
hubungan antara proposisi sebagai simbol dengan
realitas yang disimbolkannya perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi.
Berikut prinsip-prinsip verifikasi:[12]
1.
Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna
manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama
dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.
2.
Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan
menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada
tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga
pencuri itu tidak ada. Ungkapan “ John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat
itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya secara empiris.
Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak
bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).
3.
Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak
dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna.
Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak
dapat diverifikasi, atau tidak dapat di analisis secara empirik. Kalimat
metafisik God Exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna.
Demikian pula halnya kalimat God does not exist.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah
membebaskan ilmu dari kekangan
filsafat (metafisika). Karena
ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak
obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu, para
ilmuan hanya akan menjadikan fakta
yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut
positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang
ada di alam.
Tugas filsafat adalah memberi
penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh
karena itu filsafat bukanlah teori.
Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak
menghasilkan
proposisi-proposisi
filosofis, tapi yang
dihasilkan oleh filsafat adalah
penjelasan terhadap
proposisi-proposisi.
Di dalam perkembangan positivisme
juga muncul aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh
perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu
pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah
benar atau salah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah Chaedar, 2010, Filsafat Bahasa dan Pendidikan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Anshari Endang Saifuddin, 1987, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu).
Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat
Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).
http://kaylaazzrt.blogspot.co.id/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikiraliran_1401.html, diakses 27 oktober 2015.
Praja Juhaya S, 2003, AliranAliran
Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media).
Samekto
Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal,
(Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), diakses 27 oktober 2015
dari http://www.undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/HUKUM/HUKUM%2020
11/108-120-1-SM.pdf.
Soegiono dan Tamsil Muis, 2012, Filsafat Pendidikan
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Somantri Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), diakses
27 oktober 2015 dari https://www.google.com/search?q=jurnal+positivisme+filetype%3Apdf&ie=utf-8&oe
=utf-8#q=Hj.+Emma+Dysmala+Somantri++KRITIK+TERHADAP+PARADIGMA +POSITIVISME
Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara).
[1] Endang
Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) , 99.
[2]
Achmadi Asmoro, Filsafat Umum
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 120.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[4]
Soegiono dan Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), 39.
[5]
Susanto, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 141.
[6] Juhaya
S. Praja, AliranAliran Filsafat dan
Etika Prenada (Jakarta: Media, 2003), 133.
[7]
Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.
[9]
Emma Dysmala Somantri, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal
Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), 3-4.
[10] Ibid., 4.
[11] Emma Dysmala Somantri, Kritik
Terhadap Paradigma Positivisme, 6.
[12] Chaedar Alwasilah, Filsafat
Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), 29.
ᐈ Betway Online Casino Site Review 2021
BalasHapusWelcome to the world of Betway online casino, established in 2000, and one of the world's best online casinos. Read our review to learn luckyclub more.